Penetapan tarif resiprokal atau impor dagang yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada awal April silam membuat banyak negara kelabakan, termasuk Indonesia. Bagaimana tidak? Komoditas ekspor Indonesia yang banyak dikirim ke Amerika Serikat tentunya akan terdampak kebijakan baru ini. Salah satunya adalah minyak kelapa sawit, yang mana termasuk dalam salah satu komoditas ekspor Indonesia yang paling banyak diekspor ke Amerika Serikat.
Bagaimana kondusi industri kelapa sawit Indonesia saat ini, dan apa pengaruh yang berdampak pada penetapan tarif dagang dari Amerika Serikat? Baca selengkapnya di bawah ini!
Kondisi Industri Kelapa Sawit Indonesia Saat Ini
Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri terbesar yang menopang perekonomian Indonesia. Komoditas ini banyak diekspor ke luar negeri, karena beragam manfaat yang dimiliki. Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Mukti Sardjono mengatakan bahwa produksi sawit di tahun ini mengalami pertumbuhan tipis tapi tidak signifikan. Mukti juga menyatakan bahwa jika dilihat dari tren, pertumbuhannya hanya sekitar 2 – 3% di tahun ini.
Pertumbuhan produksi kelapa sawit Indonesia yang tidak signifikan ini disebabkan karena beberapa hal, salah satunya adalah banyaknya Kementerian maupun lembaga pemerintahan yang terlibat dalam industri sawit. Dilansir dari catatan GAPKI, diketahui ada 37 Kementerian maupun lembaga pemerintahan yang terlibat dalam regulasi industri sawit, termasuk sertifikasi ijin yang menyangkut berbagai Kementerian dan lembaga.
Baca selanjutnya: Komoditas Ekspor Lain yang Terkena Dampak Penetapan Tarif AS
Hal ini tentunya sangat disayangkan, terlebih karena Indonesia merupakan salah satu eksportir Crude Palm Oil (CPO) terbesar di dunia, mengungguli negara lain seperti Malaysia maupun Thailand. Per tahun 2023 saja, luas lahan kelapa sawit Indonesia sudah mencapai 15,43 juta hektare. Tiga kali lipat lebih besar dibandingkan Malaysia yang hanya memiliki luas lahan kelapa sawit sebanyak 5,65 juta hektare.

Penyebab utama lain yang membuat pertumbuhan industri kelapa sawit Indonesia stagnan adalah tidak terealisasinya program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). PSR merupakan upaya yang diadakan pemerintah untuk meningkatkan produktivitas serta kualitas produk kelapa sawit Indonesia, khususnya produk yang dihasilkan oleh pekebun sawit rakyat. Meski demikian, implementasi PSR tidak mencapai target awal yang ditentukan, yakni 150.000 – 180.000 hektare.
Rincian Ekspor Kelapa Sawit Indonesia 2024
Bulan | Nominal (USD) | Kuantitas (KG) |
Januari | 1,625,347,563 | 1,843,590,414 |
Februari | 1,113,816,811 | 1,315,101,784 |
Maret | 1,339,973,460 | 1,550,723,614 |
April | 1,238,511,094 | 1,341,752,451 |
Mei | 1,036,579,210 | 1,181,517,261 |
Juni | 1,964,703,788 | 2,322,179,235 |
Juli | 1,286,787,834 | 1,467,172,271 |
Agustus | 1,566,586,503 | 1,744,133,929 |
September | 1,237,470,685. | 1,333,971,735 |
Oktober | 2,056,367,868 | 2,028,969,856 |
November | 1,865,269,249 | 1,719,492,218 |
Desember | 1,753,493,864 | 1,527,843,225 |
Sumber: Platform TradeInt
Dampak Penerapan Tarif Dagang Amerika Serikat
Seiringan dengan penerapan tarif dagang Amerika Serikat, Direktur Eksekutif GAPKI Mukti Sardjono juga menyampaikan pendapatnya kepada pemerintah untuk meninjau kembali beban ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya pada produsen lokal. Permintaan ini tentunya disampaikan akibat penetapan tarif impor dagang AS yang dinilai dapat membebani daya saing sawit Indonesia di pasar global.
Hingga sekarang, beban ekspor yang ditanggung pelaku usaha sawit Indonesia terdiri dari tiga komponen utama. Diantaranya yakni pungutan Domestic Market Obligation (DMO), Pengendalian Ekspor (PE) serta Bea Keluar (BK). Jika ditotal, beban tersebut mencapai 221 dolar AS per metrik ton, jauh lebih tinggi dibandingkan Malaysia yang hanya sekitar 140 dolar AS per ton.
Tingginya tarif yang dikenakan pemerintah Indonesia dan juga AS membuat pelaku industri mulai melirik negara lain untuk memasarkan produknya. Beberapa sasaran negara yang ditarget seperti Afrika dan Kawasan Timur Tengah.
Sebagai salah satu industri penopang ekonomi terbesar Indonesia, tentu keadaan industri kelapa sawit dapat mempengaruhi perekonomian dengan cukup signifikan. Para pelaku industri kelapa sawit berharap pemerintah bisa melakukan upaya khusus terhadap industri ini, guna meminimaliir dampak negatif yang bisa terjadi akibat penerapan tarif impor dagang Amerika Serikat. Terlebih lagi, Amerika Serikat merupakan salah satu pasar utama tujuan ekspor komoditas kelapa sawit Indonesia.
Oleh sebab itu, pelaku industri harus bisa melakukan riset pasar dengan lebih detail dan menyeluruh sebelum melakukan ekspor kelapa sawit ke luar negeri. Riset pasar ini dapat membuat pelaku industri mengambil keputusan yang lebih tepat berbasis data, sehingga meminimalisir kemungkinan kerugian yang mungkin terjadi.
Untuk menghadapi masalah tersebut, Trade Intelligence Indonesia hadir untuk membantu Anda. Dengan produk TradeInt dari Trade Intelligence Indonesia, Anda bisa mendapatkan berbagai informasi perdagangan internasional penting, untuk pengambilan keputusan yang lebih terpercaya.
Platform TradeInt hadir dengan berbagai fitur fungsional yang mudah digunakan seperti informasi detail dari Bill of Lading (B/L), informasi pengiriman barang dari seluruh pelabuhan di dunia, hingga data ekspor impor komoditas produk tertentu. Semua informasi yang tersedia di TradeInt juga didapatkan dari sumber terpercaya dan rutin diperbarui.
Ingin tahu bagaimana Trade Intelligence Indonesia bisa membantu bisnis Anda lebih jauh? Hubungi kami untuk dapatkan demo gratis secara langsung dengan tim kami!