Ketegangan geopolitik di Timur Tengah kembali memuncak. Konflik antara Israel dan Iran bukan hanya berpotensi mengancam stabilitas kawasan, tetapi juga membawa dampak besar terhadap ekonomi global, khususnya dalam sektor energi, logistik, dan perdagangan internasional. Meskipun letak geografis Indonesia jauh dari lokasi konflik, namun kondisi geopolitik ini harus dicermati guna mencegah terjadinya dampak ekonomi buruk yang mungkin terjadi kedepannya.
Melalui artikel ini, TradeInt akan mengulas secara komprehensif pengaruh konflik Israel Iran pada ekonomi global, imbasnya ke aktivitas perdagangan lintas negara, serta strategi yang dapat diambil oleh pelaku bisnis Indonesia untuk mengantisipasi risiko yang muncul. Baca informasi selengkapnya di bawah ini!
Krisis Geopolitik yang Mempengaruhi Jalur Perdagangan Global
Konflik bersenjata antara Israel dan Iran sejak pertengahan 2025 telah menyebabkan kekhawatiran global, terutama karena potensi ancaman terhadap Selat Hormuz, yang merupakan jalur pelayaran penting yang dilalui sekitar 20% pasokan minyak dunia. Setiap gangguan di titik ini dapat menyebabkan lonjakan harga minyak, tekanan inflasi global, dan terganggunya rantai pasok logistik internasional.
Mengapa Selat Hormuz menjadi jalur pelayaran penting dan berpengaruh pada pasokan minyak dunia? Hal ini dikarenakan jalur ini menjadi rute utama bagi negara mayoritas pengekspor minyak di Teluk seperti Arab Saudi, Iran, Irak, Kuwait dan Uni Emirat Arab (UAE).

Selain untuk perdagangan minyak, jalur ini juga menjadi jalan penting bagi perdagangan LNG (gas alam cair). Diketahui, sekitar 25-30% ekspor LNG dunia dari Qatar melewati jalan ini. Oleh sebab itu, wajar jika rute pelayaran penting ini sangat berpengaruh pada keadaan ekonomi global.
Efek konflik Israel dan Iran pun langsung terasa, dengan harga minyak mentah melesat hingga menembus $100 per barel, tarif pengapalan melonjak dua kali lipat serta banyaknya pelaku logistik menghindari rute-rute berisiko tinggi. Semua ini berkontribusi pada naiknya biaya perdagangan global, yang pada akhirnya akan mempengaruhi harga produk akhir, daya beli konsumen, serta stabilitas ekonomi negara-negara pengimpor energi — termasuk Indonesia.
Dampak terhadap Ekonomi Global: Inflasi, Volatilitas Pasar, dan Fragmentasi Perdagangan
Konflik Israel-Iran menciptakan guncangan berlapis pada sistem ekonomi global. Tidak hanya menimbulkan keresahan politik, tetapi juga mengganggu keseimbangan suplai dan permintaan di pasar internasional, terutama untuk komoditas energi, logistik hingga pembiayaan perdagangan.
Inflasi Energi dan Biaya Produksi
Salah satu dampak paling langsung adalah kenaikan tajam harga minyak mentah. Pasca serangan udara balasan antara Israel dan Iran, harga minyak jenis Brent sempat menembus $104 per barel; tertinggi dalam 18 bulan terakhir. Lonjakan ini menambah tekanan inflasi pada berbagai negara, khususnya negara-negara pengimpor minyak seperti Indonesia, India, dan Jepang.
Kenaikan harga ini juga mempengaruhi negara Eropa, dimana banyak pabrik kimia dan petrokimia di Jerman serta Belanda yang melaporkan penundaan produksi karena meningkatnya biaya input energi. Hal ini menyebabkan keterlambatan pasokan ke pasar Asia, termasuk Indonesia, dan memaksa banyak importir mencari alternatif dengan harga lebih tinggi.
Baca Selanjutnya: Implementasi Kebijakan Proteksionis di Indonesia, Untung atau Buntung?
Volatilitas Pasar dan Risiko Investasi
Kepanikan pasar menyebabkan fluktuasi tajam pada nilai tukar, indeks saham, dan komoditas utama. Investor global menarik dana dari pasar negara berkembang dan memindahkannya ke aset-aset aman seperti emas, obligasi pemerintah AS, dan mata uang seperti dolar AS dan franc Swiss.
Diketahui bahwa bursa saham Asia Tenggara sempat terkoreksi 2–3% dalam sehari setelah berita tentang kemungkinan Iran menutup Selat Hormuz. Di Indonesia, IHSG sendiri turun drastis selama dua hari berturut-turut, yang kemudian diikuti dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hingga menyentuh Rp16.300 per dolar.
Gangguan Rantai Pasok dan Fragmentasi Perdagangan
Ketegangan di kawasan Teluk tidak hanya berdampak pada energi, tetapi juga pada kapal dagang dan asuransi pelayaran. Banyak perusahaan pelayaran besar mengalihkan rute mereka dari Selat Hormuz, yang tentunya membuat waktu tempuh jadi lebih lama serta kenaikan biaya logistik.
Hal ini dialami langsung oleh pelaku usaha di Indonesia yang mengekspor ke Turki dan Uni Emirat Arab. Mereka mengatakan bahwa biaya pengapalan kontainer 40-ft naik hingga 80% dibandingkan kuartal sebelumnya. Selain itu, proses asuransi kargo juga jadi lebih mahal dan memakan waktu lebih lama karena risiko zona konflik.
Baca Selanjutnya: Kehadiran Pelabuhan Hub Internasional Makassar Dongkrak Aktivitas Ekspor
Fragmentasi Sistem Keuangan Global
Selain risiko fisik di lapangan, konflik ini turut memperdalam pemisahan blok keuangan global. Iran, Rusia, dan beberapa negara lain mulai menggunakan sistem alternatif selain SWIFT dalam transaksi perdagangan, yang menciptakan ketidakpastian bagi pelaku usaha yang terbiasa dengan sistem perbankan konvensional.
SWIFT atau Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication merupakan jaringan komunikasi keuangan global yang digunakan oleh ribuan bank dan lembaga keuangan di seluruh dunia untuk mengirimkan instruksi pembayaran internasional secara aman dan standar. Sistem ini sangat penting karena menjadi acuan pembayaran utama seluruh pembayaran perdagangan dunia.
Dengan adanya konflik Israel dan Iran yang sedang terjadi, hal ini bisa mempengaruhi negara tersebut dikeluarkan dari SWIFT, sehingga pengusaha maupun negara yang menjalin hubungan perdagangan internasional harus beralih menggunakan sistem pembayaran lain. Perubahan sistem pembayaran ini bisa membuat transaksi internasional jadi lebih kompleks, lambat dan beresiko tinggi, yang bisa berpengaruh pada keadaan ekonomi negara.
Apa Pengaruhnya kepada Indonesia?
Meskipun Indonesia tidak memiliki hubungan dagang besar secara langsung dengan Iran maupun Israel, dampak konflik antara kedua negara tersebut tetap signifikan bagi perekonomian nasional, terlebih karena posisi Indonesia sebagai pengimpor minyak dan eksportir komoditas strategis di pasar global.
Lonjakan Harga Minyak dan Beban Subsidi
Konflik ini mendorong harga minyak mentah dunia ke level tertinggi dalam 18 bulan terakhir. Sebagai negara yang masih mensubsidi BBM, pemerintah Indonesia menghadapi tekanan fiskal yang besar untuk menstabilkan harga dalam negeri. Tambahan alokasi subsidi bisa mengganggu prioritas anggaran lain, seperti infrastruktur dan perlindungan sosial.
Pada April–Mei 2025 saja, harga minyak global naik dari sekitar US$85 menjadi US$104 per barel. Pemerintah Indonesia harus mengalokasikan tambahan subsidi energi sekitar Rp40 triliun untuk menstabilkan harga BBM domestik. Hal ini tentunya berpotensi mengurangi ruang fiskal untuk belanja infrastruktur dan program sosial lainnya.
Baca Selanjutnya: Peningkatan Tren Permintaan Minyak Nabati Global
Pelemahan Rupiah dan Biaya Impor Meningkat
Nilai tukar rupiah juga tertekan akibat aliran modal keluar dari negara berkembang, memicu naiknya biaya bahan baku impor seperti mesin industri dan komponen elektronik. Hal ini menurunkan margin keuntungan industri manufaktur dan memperlambat pertumbuhan sektor produktif.
Diketahui bahwa nilai tukar rupiah sempat menyentuh Rp16.300 per dolar AS pada Juni 2025. Akibatnya, importir Indonesia harus membayar lebih mahal untuk barang-barang seperti mesin industri, suku cadang otomotif, dan bahan baku kimia. Beberapa industri manufaktur kecil bahkan mengurangi volume impor karena tekanan biaya tersebut.
Kenaikan Biaya Logistik dan Ketidakpastian Pengiriman
Dengan Selat Hormuz dalam kondisi tidak stabil, operator pelayaran mengalihkan rute, menyebabkan kenaikan tarif pengiriman hingga 70% dan waktu pengiriman menjadi lebih lama. Hal ini sangat berdampak bagi eksportir Indonesia ke pasar Timur Tengah dan Eropa.
Beberapa pelaku eksportir CPO lokal melaporkan bahwa biaya pengiriman kontainer ke Uni Emirat Arab naik hingga 70% dalam 3 minggu terakhir. Selain itu, waktu pengiriman yang biasanya 14 hari menjadi 21–25 hari akibat pengalihan rute. Hal ini membuat pengusaha kehilangan kontrak pasokan tahunan karena tidak bisa memenuhi SLA (service level agreement) dengan buyer.
Pengaruh konflik Israel Iran pada ekonomi global sangat nyata dan meluas, mulai dari harga energi yang melonjak, rantai pasok terganggu, hingga meningkatnya biaya dan risiko dalam perdagangan internasional. Indonesia sebagai bagian dari ekosistem perdagangan global tentu bisa mendapatkan pengaruh buruk dari isu geopolitik ini.
Namun, dengan pemantauan yang tepat dan strategi yang adaptif, risiko bisa diminimalkan. Pelaku usaha perlu memperkuat ketahanan bisnis mereka dengan platform bisnis internasional yang bisa memberikan intelijen perdagangan berbasis data. TradeInt hadir sebagai mitra terbaik Anda dalam menjalani situasi perdagangan global yang penuh tantangan.
Bersama TradeInt dari Trade Intelligence Global Indonesia, kami hadir sebagai solusi terpercaya bagi pelaku usaha yang ingin melangkah lebih jauh di pasar internasional. Dengan dukungan data ekspor-impor lintas negara, insight berbasis teknologi, dan visualisasi pasar yang komprehensif, TradeInt membantu Anda mengambil keputusan yang lebih cepat, tepat, dan berbasis informasi nyata.
Platform TradeInt hadir dengan berbagai fitur fungsional yang mudah digunakan seperti informasi detail dari Bill of Lading (B/L), informasi pengiriman barang dari seluruh pelabuhan di dunia, hingga data ekspor impor komoditas produk tertentu. Semua informasi yang tersedia di TradeInt juga didapatkan dari sumber terpercaya dan rutin diperbarui.
Ingin tahu bagaimana Trade Intelligence Indonesia bisa membantu bisnis Anda lebih jauh? Hubungi kami untuk dapatkan demo gratis secara langsung dengan tim kami!